Have an account?

Senin, 01 Februari 2010

Akulturasi

WUJUD KOMUNIKASI DAN AKULTURASI BUDAYA MADURA, CINA DAN BELANDA PADA ARSITEKTUR-INTERIOR KERATON SUMENEP

Sifat meniru bukanlah hal yang tidak mungkin dalam kebudayaan, akan tetapi merupakan sifat dari masyarakat dimanapun juga. Alfre Vierkandt seorang sosiolog terkenal berkata, "Die Nachamung ist eine der Wichtigsten Grundslagen fur die Erhaltung der Kultur", artinya peniruan adalah salah satu sendi yang penting dalam perkembangan kebudayaan. Pertemuan antara dua kebudayaan akan terjadi komunikasi pada kedua kebudaya tersebut, dan membawa akulturasi. Kebudayaan yang kuat dan atau dianggap baik biasanya mewarnai kebudayaan satunya. Bahkan dapat terjadi bahwa dua kebudayaan saling berakulturasi, saling mempengaruhi antara kebudayaan imigran dengan kebudayaan pribumi, yang pada akhirnya akan melahirkan suatu kebudayaan baru. Kebudayaan baru tersebut bisa berupa norma-norma, perilaku, bahasa maupun kesenian, diantaranya seni arsitektur. Adanya kebudayaan baru hasil akulturasi menunjukan peran komunikasi sangat vital dalam mendorong suatu proses akulturasi budaya. Proses komunikasi antara budaya Madura, Cina dan Belanda, yang telah berlangsung cukup lama, terjadi berbagai penyesuaian antara budaya satu dengan budaya lainnya sehingga menghasilkan akulturasi budaya baru. Proses akulturasi budaya di Madura dimulai ketika pengaruh kerajaan Hindu dan Islam dari Jawa masuk ke Madura yang akhirnya menjadi cikal bakal budaya Madura. Pada perkembangan berikutnya masuklah budaya Cina yang dibawa oleh para imigran dan menghasilkan budaya Madura ditambah Cina. Sedangkan proses akulturasi yang selanjutnya terjadi ketika kerajaan Sumenep berada di bawah kekuasaan Belanda, pada saat itulah terjadi akulturasi antara budaya Madura ditambah Cina dengan budaya kolonial (Barat), sehingga terlahir budaya baru yang sekarang terlihat pada bentuk arsitektur-interior keraton Sumenep.

1. Bentuk Asli Arsitektur Madura

Seperti telah diuraikan pada pembahasan terdahulu, bahwa sejarah Madura dimulai pada masa Hindu/Islam di Jawa masuk ke Madura. Pengaruh Jawa tersebut sudah barang tentu menyebabkan bentuk-bentuk arsitektur-interior di Madura banyak diwarnai bentuk arsitektur-interior Jawa. Bentuk arsitektur rumah Jawa tersebut sampai sekarang masih dapat ditemukan pada sebagian rumah penduduk daerah pinggiran. Bentuk arsitektur yang dipengaruhi oleh arsitektur Jawa tersebut antara lain berupa:
a. Rumah tipe Trompesan yaitu rumah yang atapnya mirip dengan rumah Jawa tipe Srotongan yang diberi cukit atau teritis di kedua sisinya. Tipe rumah tersebut banyak terdapat di daerah Situbondo dan Bondowoso.

Gambar 1. Rumah tipe Trompesan

b. Rumah tipe Bangsal,
yaitu rumah yang atapnya mirip dengan rumah Jawa tipe Joglo yang sisi kiri dan kanannya dipotong. Di daerah Pinggir Papas Kalianget terdapat gugus bangun tipe ini yang puncaknya dihiasi dengan bentuk kapal atau ular naga.

c. Bentuk rumah tipe Pegun atau Potongan,
yaitu rumah yang atapnya mirip dengan bentuk rumah Jawa tipe Limasan Pacul-gowang, sekarang masih banyak terdapat pada rumah tinggal di Jawa.
Gambar 3. Rumah tipe Pegun

d. Bentuk rumah tipe Surabayan,
yaitu bentuk rumah yang atapnya berbentuk Limasan atau Kampung dan selalu memiliki teras depan yang terbuka. Diduga bentuk rumah ini dipengaruhi oleh bentuk rumah yang ada di daerah Surabaya, yang secara geografis berdekatan dengan Madura.

2. Pengaruh Arsitektur Cina

Orang Cina di Sumenep selain berusaha pada bidang perdagangan juga banyak yang tekun pada bidang pertukangan, maka pengaruh kebudayaan Cina terlihat jelas pada seni bangunan di Sumenep. Bentuk hiasan penutup atap dan pengukiran atap dengan top gevel (gunung-gunung), keramik, porselin dari Cina, ukir-ukiran bentuk Naga dan Burung Phoenix atau Merak dan sebagainya merupakan pengaruh kebudayaan Cina. Pintu gerbang Masjid Agung Sumenep mengingatkan pada Tembok Raksasa di Cina yang terbuat dari tembok dengan bentuk memanjang, mengesankan kekokohan dan keagungan. Interior ruang masjid jamik, seperti mimbar, mihrab dan maksurah pada dindingnya dilapisi dengan keramik porselen dari Cina. Model interior seperti ini memperlihatkan nuansa pengaruh Cina yang sangat kuat.

Gambar 5. Pintu gerbang Masjid Jamik Sumenep yang bentuknya mirip dengan tembok Raksasa Tiongkok. Dilatar belakang nampak bangunan masjidnya yang beratap Tajug tumpang tiga pengaruh arsitektur Jawa – Islam

Gambar 6. Tampak Timur Dalem Kraton yang dindingnya tanpa teritis, mirip dinding Klenteng. Pada puncak dinding tembok, terdapat bentuk seperti kepala tugu yang amat mirip dengan bentuk cerobong asap di negeri Eropa (Belanda). Disini terlihat Akulturasi Budaya Cina dan Belanda dalam Seni Bangun

Gambar 7. Tampak Depan Bangunan Pendopo. Nampak lantainya yang amat rendah. Atapnya sama dengan atap rumah Jawa tipe Limasan Sinom dengan bubungannya diselesaikan mencuat ke atas mirip hiasan bubungan Klenteng Cina

3. Pengaruh Arsitektur Belanda (Barat)

Pada awal berdirinya kabupaten Sumenep kekuasaan Kolonial Belanda cukup lama (kurang lebih 3 abad) di Sumenep, dengan demikian masuklah (terjadi komunikasi antara budaya) pengaruh kebudayaan Belanda memberi warna pada kebudayaan Sumenep. Hal ini terlihat juga pada konsepsi ruang pada bangunan rumah tinggal kaum bangsawannya. Bangunan ini mirip dengan konsepsi ruang pada bangunan Kolonial Belanda yang banyak terlihat di Batavia dan kota-kota besar di Jawa yang disebut sebagai "landhuise", yakni bentuk arsitektur Belanda yang sudah disesuaikan dengan iklim di Indonesia. Bentuk-bentuk ele-men bangunan seperti kolom banyak dibuat dengan gaya Arsitektur Belanda (Yunani). Bentuk-bentuk rumah tinggal Landhuise kini peninggalannya dapat dilihat pada beberapa rumah kaum bangsawan pedagang Arab dan Pakistan di daerah Kepanjen dan lain-lain. Wujud alkuturasi budaya asing yang masuk ke Kraton Sumenep dapat dilihat juga pada lambang Kraton Sumenep, yakni pengaruh Belanda dengan mahkota yang lengkap dengan tanda salip di atasnya, Cina dengan lambang naga yang dapat terbang, serta Madura (Islam) dengan lambang kuda terbang, Merupakan suatu hal yang unik lambang Kraton dari Sultan (Islam) namun terdapat lambang salib (Katolik) di bagian puncaknya.

Gambar 8. Tampak depan Labang Mesem (Gapura Kraton). Hiasan tembok meniru bentuk Parthenon dengan pilar-pilarnya bergaya Ionic sebagai bentuk pengaruh arsitektur Belanda. Sedangkan atapnya bersusun mirip dengan Pagoda Cina

Gambar 9. Lambang Kraton Sumenep terdiri dari Mahkota Eropa (Kroons), kuda terbang, naga terbang, dan untaian bunga mawar

Gambar 10. Interior dari Pringgitan (Teras Depan Dalem). Pilar-pilarnya bergaya Majapahit. Tinggi pintu ke ruang sekretariat Sultan kurang dari 3m, mirip dengan ukuran untuk orang Belanda. Lantai tegel sedang langit-langit dari papan jati

Asta Tinggi

Asta Tiggi teletak di Kabupaten Sumenep, di sebuah bukit, Asta Tinggi memang diperuntukkan sebagai komplek makam bagi Raja-raha dan keturunannya. Jadi yang dimakamkan di Asta Tinggi ini adalah orang-orang yang memiliki sertifikat sebagai keturunan Raja-raja Sumenep.
Asta Tinggi (asta=makam,peristirahatan), terdiri dari tiga komplek makam. Yang pertama adalah komplek makam bawah, yaitu komplek makam yang diperuntukkan sebagai makam para Raden rendahan. Orang-orang yang “hanya” memiliki gelar “Raden” tanpa embel-embel lainnya, berhak dimakamkan di sini.

Yang Kedua adalah komplek makam luar, untuk Raden menengah, -aku gak tau Raden apaan-, yang jelas mereka bukan keturunan langsung dari raja Sumenep.

Aku gak tahu kenapa, sepertinya komplek makam ini adalah makam tua yang gak terurus. Apa karena sudah gak ada lagi yang berhak di makamkan di sini, ya?

Dan yang terakhir adalah komplek makam dalam, tempat keturunan langsung raja dimakamkan.

Yang berhak dimakamkan di sini adalah keturunan langsung dari Raja-raja Sumenep. Biasanya gelar mereka adalah Raden Panji, Raden Bagus, dan Raden Aju (Raden Ayu, di Sumenep gak ada gelar Raden Ajeng, adanya Raden Aju yang dibaca Dinaju).

Banyak yang bisa kita pelajari di Asta Tinggi ini, misalnya sejarah Raja-raja Sumenep. Karena di komplek makam ini terdapat makam Raja Sumenep yang terkenal yaitu Pangeran Jimad, Bindara Saod, dan Pangeran Panji Pulang Jiwa.


Wisata Slopeng

Dengan mayoritas warga Madura yang merantau ke luar pulau, ditambah lokasinya yang benar-benar sangat jauh jika kita mengukurnya dari Surabaya, maka bisa dibayangkan minimnya pengunjung obyek wisata yang satu ini. Dari gelagatnya, pemkot setempat pada awalnya melihat potensi wisata yang besar pada obyek wisata yang satu ini, sehingga terlihat bangunan-bangunan pendukung yang lumayan bagus, walaupun saat ini sudah tampak kerusakan disana-sini karena tidak terawat. Lokasi yang sangat jauh ini lah yang membuat harapan pemkot untuk meraup ABPD berlimpah dari obyek wisata ini hanya tinggal impian. Dari Surabaya, dengan sudah adanya jembatan Suramadu-pun, lokasi pantai Slopeng ini bisa dibilang sangat jauh untuk dijangkau. Sekitar 160-180km dijangkau dari sisi manapun. Lokasinya berada dipesisir pantai sebelah utara kota Sumenep.


Tapi justru dengan kondisi seperti inilah sangat menguntungkan untuk penikmat alam seperti kami ini. Kecantikan pantai ini sama sekali belum terusik. Dia secantik kembang desa yang belum terjamah oleh rusaknya kehidupan kota. Karena, bagi saya pribadi, seindah apapun suatu pantai, jika ternyata harus berakhir seperti pantai Kuta di Bali, dimana ratusan pengunjung kleleran disana-sini, dan sampah dimana-mana, maka dimata saya itu menjadi pantai terjelek.

Pantai Slopeng ini memiliki pasir putih (tentu saja itu artinya berwarna kuning) yang semi padat, dimana di belakangnya masih dikelilingi oleh bukit kecil batuan khas pulau madura. Pepohonan semacam palem (saya tidak tahu namanya) menghiasi pesisir pantainya. Lautnya berwarna hijau kebiru-biruan dengan disemarakkan oleh puluhan perahu nelayan yang melempar sauh ditengah sana membuat suasana semakin indah. Garis pantainya sangat panjang sebenarnya, sepanjang lintasan didaerah ini memiliki kondisi pantai yang sama indahnya. Namun untuk yang dikelola ini garis pantainya sekitar 1 km. Dan suasana semakin menyentuh kalbu disaat matahari sore sudah hampir merangkul garis cakrawala. Sayang sekali kami benar-benar dikejar waktu saat ini, sehingga terpaksa harus melewatkan moment yang indah ini.

Disabtu sore ini, penggunjung pantai hanya ada 4-5 pasang muda mudi dan 1 rombongan keluarga saja, ditambah sepasang muda-muda (bukan muda-mudi) yaitu kami tentu saja. Mau teriak teriak dipantai silakan saja. Mungkin yang terganggu hanya pasangan muda-mudi yang sedang saling melancarkan rayuan gombalnya dipinggir sana. Kami benar-benar bisa menikmati keindahan alam pantai ini. Untuk ongkos masuk sepertinya gratis, tidak ada loket, dan kendaraan bisa diparkir dimanapun sesuka hati. Namun penjaga obyek ini sepertinya melihat ada pengunjung yang tidak biasa pada diri kami, maka kami dikenakan biaya parkir Rp.2.000 dan tarif masuk Rp.1.000 untuk satu orang. Tidak ada masalah untuk tarif semurah itu kan.


Akulturasi

WUJUD KOMUNIKASI DAN AKULTURASI BUDAYA MADURA, CINA DAN BELANDA PADA ARSITEKTUR-INTERIOR KERATON SUMENEP

Sifat meniru bukanlah hal yang tidak mungkin dalam kebudayaan, akan tetapi merupakan sifat dari masyarakat dimanapun juga. Alfre Vierkandt seorang sosiolog terkenal berkata, "Die Nachamung ist eine der Wichtigsten Grundslagen fur die Erhaltung der Kultur", artinya peniruan adalah salah satu sendi yang penting dalam perkembangan kebudayaan. Pertemuan antara dua kebudayaan akan terjadi komunikasi pada kedua kebudaya tersebut, dan membawa akulturasi. Kebudayaan yang kuat dan atau dianggap baik biasanya mewarnai kebudayaan satunya. Bahkan dapat terjadi bahwa dua kebudayaan saling berakulturasi, saling mempengaruhi antara kebudayaan imigran dengan kebudayaan pribumi, yang pada akhirnya akan melahirkan suatu kebudayaan baru. Kebudayaan baru tersebut bisa berupa norma-norma, perilaku, bahasa maupun kesenian, diantaranya seni arsitektur. Adanya kebudayaan baru hasil akulturasi menunjukan peran komunikasi sangat vital dalam mendorong suatu proses akulturasi budaya. Proses komunikasi antara budaya Madura, Cina dan Belanda, yang telah berlangsung cukup lama, terjadi berbagai penyesuaian antara budaya satu dengan budaya lainnya sehingga menghasilkan akulturasi budaya baru. Proses akulturasi budaya di Madura dimulai ketika pengaruh kerajaan Hindu dan Islam dari Jawa masuk ke Madura yang akhirnya menjadi cikal bakal budaya Madura. Pada perkembangan berikutnya masuklah budaya Cina yang dibawa oleh para imigran dan menghasilkan budaya Madura ditambah Cina. Sedangkan proses akulturasi yang selanjutnya terjadi ketika kerajaan Sumenep berada di bawah kekuasaan Belanda, pada saat itulah terjadi akulturasi antara budaya Madura ditambah Cina dengan budaya kolonial (Barat), sehingga terlahir budaya baru yang sekarang terlihat pada bentuk arsitektur-interior keraton Sumenep.

1. Bentuk Asli Arsitektur Madura

Seperti telah diuraikan pada pembahasan terdahulu, bahwa sejarah Madura dimulai pada masa Hindu/Islam di Jawa masuk ke Madura. Pengaruh Jawa tersebut sudah barang tentu menyebabkan bentuk-bentuk arsitektur-interior di Madura banyak diwarnai bentuk arsitektur-interior Jawa. Bentuk arsitektur rumah Jawa tersebut sampai sekarang masih dapat ditemukan pada sebagian rumah penduduk daerah pinggiran. Bentuk arsitektur yang dipengaruhi oleh arsitektur Jawa tersebut antara lain berupa:
a. Rumah tipe Trompesan yaitu rumah yang atapnya mirip dengan rumah Jawa tipe Srotongan yang diberi cukit atau teritis di kedua sisinya. Tipe rumah tersebut banyak terdapat di daerah Situbondo dan Bondowoso.

Gambar 1. Rumah tipe Trompesan

b. Rumah tipe Bangsal,
yaitu rumah yang atapnya mirip dengan rumah Jawa tipe Joglo yang sisi kiri dan kanannya dipotong. Di daerah Pinggir Papas Kalianget terdapat gugus bangun tipe ini yang puncaknya dihiasi dengan bentuk kapal atau ular naga.

c. Bentuk rumah tipe Pegun atau Potongan,
yaitu rumah yang atapnya mirip dengan bentuk rumah Jawa tipe Limasan Pacul-gowang, sekarang masih banyak terdapat pada rumah tinggal di Jawa.
Gambar 3. Rumah tipe Pegun

d. Bentuk rumah tipe Surabayan,
yaitu bentuk rumah yang atapnya berbentuk Limasan atau Kampung dan selalu memiliki teras depan yang terbuka. Diduga bentuk rumah ini dipengaruhi oleh bentuk rumah yang ada di daerah Surabaya, yang secara geografis berdekatan dengan Madura.

2. Pengaruh Arsitektur Cina

Orang Cina di Sumenep selain berusaha pada bidang perdagangan juga banyak yang tekun pada bidang pertukangan, maka pengaruh kebudayaan Cina terlihat jelas pada seni bangunan di Sumenep. Bentuk hiasan penutup atap dan pengukiran atap dengan top gevel (gunung-gunung), keramik, porselin dari Cina, ukir-ukiran bentuk Naga dan Burung Phoenix atau Merak dan sebagainya merupakan pengaruh kebudayaan Cina. Pintu gerbang Masjid Agung Sumenep mengingatkan pada Tembok Raksasa di Cina yang terbuat dari tembok dengan bentuk memanjang, mengesankan kekokohan dan keagungan. Interior ruang masjid jamik, seperti mimbar, mihrab dan maksurah pada dindingnya dilapisi dengan keramik porselen dari Cina. Model interior seperti ini memperlihatkan nuansa pengaruh Cina yang sangat kuat.

Gambar 5. Pintu gerbang Masjid Jamik Sumenep yang bentuknya mirip dengan tembok Raksasa Tiongkok. Dilatar belakang nampak bangunan masjidnya yang beratap Tajug tumpang tiga pengaruh arsitektur Jawa – Islam

Gambar 6. Tampak Timur Dalem Kraton yang dindingnya tanpa teritis, mirip dinding Klenteng. Pada puncak dinding tembok, terdapat bentuk seperti kepala tugu yang amat mirip dengan bentuk cerobong asap di negeri Eropa (Belanda). Disini terlihat Akulturasi Budaya Cina dan Belanda dalam Seni Bangun

Gambar 7. Tampak Depan Bangunan Pendopo. Nampak lantainya yang amat rendah. Atapnya sama dengan atap rumah Jawa tipe Limasan Sinom dengan bubungannya diselesaikan mencuat ke atas mirip hiasan bubungan Klenteng Cina

3. Pengaruh Arsitektur Belanda (Barat)

Pada awal berdirinya kabupaten Sumenep kekuasaan Kolonial Belanda cukup lama (kurang lebih 3 abad) di Sumenep, dengan demikian masuklah (terjadi komunikasi antara budaya) pengaruh kebudayaan Belanda memberi warna pada kebudayaan Sumenep. Hal ini terlihat juga pada konsepsi ruang pada bangunan rumah tinggal kaum bangsawannya. Bangunan ini mirip dengan konsepsi ruang pada bangunan Kolonial Belanda yang banyak terlihat di Batavia dan kota-kota besar di Jawa yang disebut sebagai "landhuise", yakni bentuk arsitektur Belanda yang sudah disesuaikan dengan iklim di Indonesia. Bentuk-bentuk ele-men bangunan seperti kolom banyak dibuat dengan gaya Arsitektur Belanda (Yunani). Bentuk-bentuk rumah tinggal Landhuise kini peninggalannya dapat dilihat pada beberapa rumah kaum bangsawan pedagang Arab dan Pakistan di daerah Kepanjen dan lain-lain. Wujud alkuturasi budaya asing yang masuk ke Kraton Sumenep dapat dilihat juga pada lambang Kraton Sumenep, yakni pengaruh Belanda dengan mahkota yang lengkap dengan tanda salip di atasnya, Cina dengan lambang naga yang dapat terbang, serta Madura (Islam) dengan lambang kuda terbang, Merupakan suatu hal yang unik lambang Kraton dari Sultan (Islam) namun terdapat lambang salib (Katolik) di bagian puncaknya.

Gambar 8. Tampak depan Labang Mesem (Gapura Kraton). Hiasan tembok meniru bentuk Parthenon dengan pilar-pilarnya bergaya Ionic sebagai bentuk pengaruh arsitektur Belanda. Sedangkan atapnya bersusun mirip dengan Pagoda Cina

Gambar 9. Lambang Kraton Sumenep terdiri dari Mahkota Eropa (Kroons), kuda terbang, naga terbang, dan untaian bunga mawar

Gambar 10. Interior dari Pringgitan (Teras Depan Dalem). Pilar-pilarnya bergaya Majapahit. Tinggi pintu ke ruang sekretariat Sultan kurang dari 3m, mirip dengan ukuran untuk orang Belanda. Lantai tegel sedang langit-langit dari papan jati

Keemasan Raja

Berdiri megah melintasi perubahan jaman. Guratan sejarah sebuah kejayaan yang tersisa di ujung Timur Pulau Garam
Bak potret raksasa dalam sebuah bingkai histori. Bangunan megah berdiri dengan nuansa yang has menyiratkan peninggalan masa silam. Berdiri di kawasan seluas 12 hektar, di tengahnya terdapat Pendopo Agung dengan ornamen khas berlatar bangunan tua yang tak kalah gagah memancarkan kharisma. Sebatang pohon Beringin besar berdiri di samping kirinya, menambah kokoh dan sakral nuansa yang terpancar dari warisan para raja yang dulu pernah berkuasa.
Walau kini Keraton Sumenep tidak lagi dihuni seorang raja beserta keluarga dan para abdinya. Namun bangunan yang berumur lebih dari 200 tahun itu tetap terjaga. Sumenep setelah berubah secara birokrasi dan mulai dipimpin oleh seorang bupati setelah masa raja Panembahan Notokusumo II (1854-1879) menganggap warisan sisa masa keemasan itu sebagai sebuah kekayaan sejarah yang tak ternilai harganya. Bangunan-bangunan di kawasan keraton sudah tidak ditempati lagi. Kecuali pada bagian belakang, menghadap ke Utara, yang kemudian dibangun rumah dinas bupati, berlawanan dengan keraton. Sementara pendopo kini kerap difungsikan untuk acara rapat-rapat para aparat pemerintahan, hingga pagelaran seni dan budaya setempat. Bangunan fisik Keraton Sumenep terbilang masih asli. Hanya bagian lantai yang telah dirubah karena rusak. Semula berlantai marmer kini keramik. Terhadap bangunan keraton sendiri yang usianya lebih dari dua abad pernah dilakukan perbaikan namun hanya pada bagian gentingnya. Selain itu pengecatan tetap dilakukan pada bagian dinding agar tetap kelihatan cerah. Bangunan utama keraton terdiri dari dua lantai. “Lantai atas merupakan tempat para putri raja yang dipingit selama 40 hari sebelum datangnya hari pernikahan,” papar Moh. Romli, penanggung jawab Museum Keraton Sumenep. Menurut pria 40 tahun ini, bangunan kediaman raja yang terletak di lantai bawah terdapat empat kamar yang masing-masing diperuntukkan untuk kamar pribadi raja, kamar permaisuri, kamar orang tua pria dan orang tua perempuan raja. Secara umum gaya arsitektural Keraton Sumenep merupakan perpaduan antara gaya arsitektur Eropa, Arab, dan China. Gaya Eropa tampak pada pilar-pilar dan lekuk ornamennya. Sedangkan gaya China bisa dilihat pada ukiran-ukiran yang menghiasi. Detil ukiran bergambar Burung Hong, yang konon merupakan lambang kemegahan yang disakralkan oleh bangsa China. Ada pula Naga yang melambangkan keperkasaan, beberapa bergambar bunga Delima yang melambangkan kesuburan. Demikian pula pada pilihan warna Merah dan Hijau. Salah seorang arsitek pembangunan keraton bernama Lauw Piango, yang setelah meninggal di kebumikan di sekitar Asta Tinggi (komplek makam raja Sumenep dan keturunannya) adalah pria berkebangsaan China. Bahkan konon yang mengepalai tukang saat pembangunan keraton adalah orang China, bernama Ka Seng An. Nama itu kemudian dijadikan nama desa dimana dia dulunya tinggal, menjadi desa Kasengan. Dalam sejarah Sumenep disebutkan keraton tempat kediaman raja sempat berpindah-pindah. Konon pada masa awal yang dipimpin oleh Raja Aria Wiraraja, yang berasal dari Singosari, keraton Sumenep berada di Desa Banasare, Kecamatan Rubaru. Lalu keraton juga pernah pindah ke daerah Dungkek pada masa raja Jokotole (1415-1460). Beberapa daerah lain juga diindikasi sebagai keraton Sumenep, seperti Tanjung, Keles, Bukabu, Baragung, Kepanjin dan daerah lain sebelum akhirnya menempati lokasi keraton yang masih tersisa sekarang. Di Desa Pajagalan yang merupakan warisan sejak raja, yaitu Panembahan Somala dan enam raja berikutnya. Panembahan Somala berinisiatif membangun katemenggungan atau kadipaten ini setelah selesai perang dengan Blambangan, pada tahun 1198 hijriyah. Keraton itu selesai pada tahun 1200 hijriyah atau 1780 masehi. Batas-batas keraton pada jaman dahulu meliputi, sisi Timur adalah Taman Lake’, ini menurut Romli, masih merupakan anak sumber air dari Taman Sare yang berada di sekitar keraton. Sayang, tempat ini sekarang sudah ditutup karena difungsikan sebagai sumber air PDAM Sumenep. Sebelah Utara hingga monumen tembok keraton yang ada di jalan Panglima Sudirman sekarang. Dan sisi Barat hingga bagian belakang Masjid Agung (Jami’) Sumenep sekarang. Menurut cerita, sebelum dibangun Masjid Jami’, sudah ada masjid yang dibangun oleh raja Pangeran Anggadipa (1626-1644 M). Letaknya di sebelah Utara keraton. Namanya Masjid Laju, laju dalam bahasa Indonesia berarti Lama. Masjid Jami’ sebelumnya merupakan masjid keraton yang eksklusif untuk raja dan kalangan kerajaan. Tepat di depan masjid terdapat Alun-alun keraton. Sekarang sudah di-redesign menjadi Taman Bunga Kota Sumenep. Sementara batas Selatan hingga di belakang museum. Pagar keraton yang ada sekarang adalah peninggalan masa R. Tumenggung Aria Prabuwinata. Sebelum diganti dengan bilah besi yang berujung mata tombak itu, pagar keraton berupa tembok tebal setinggi lebih dari dua meter. Hal ini terbukti dari sisa pagar yang hingga kini masih ada di belakang keraton, tepat di depan rumah dinas Bupati sekarang. Sisa pagar itu kini dijaga sebagai Monumen bukti sejarah Keraton Sumenep. Bangunan yang dipakai kantor Dinas pariwisata dan Kebudayaan itu sebenarnya bukan bagian dari keraton, dulu dikenal dengan sebutan Gedong Negeri, walau ada di lingkungan Keraton Sumenep. Bangunan bergaya Eropa ini didirikan sekitar tahun 1931, pada jaman pendudukan Belanda di tanah air. Kehadiran gedung tepat di depan keraton itu memang mengganggu kharisma keraton secara keseluruhan. Pandangan kearah Keraton Sumenep menjadi terhalang

Taman Sare dan Labang Mesem

Saat ini di sekitar keraton terdapat tiga bangunan yang difungsikan sebagai museum. Satu di depan keraton atau yang berseberangan dengan kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Sumenep. Bangunan museum yang berdiri di bagian selatan keraton itu, sebelumnya merupakan garasi kereta kencana kerajaan. Sekarang menjadi tempat koleksi kereta kencana dan beberapa benda bersejarah lain seperti kursi pertemuan, tempat tidur raja, kursi pengadilan pada jaman raja, serta beberapa foto raja. Kereta kencana yang dipajang di sana kabarnya merupakan hadiah dari kerajaan Inggris, sebagai balas jasa. Konon bantuan yang diberikan raja Sultan Abdurrahman adalah mengalihbahasakan sebuah prasasti dengan tulisan Sansekerta kuno, yang ditemukan pada masa Raffles. “Kereta kencana itu bernama My Lord, namun karena lidah orang Madura saat itu kurang bisa melafalkan. Maka, kereta raja itu kemudian lebih dikenal dengan nama Melor,” . Satu lagi di sisi Barat keraton, dulu bekas kantor Raja atau yang biasa disebut dengan Kantor Koneng. Dahulu bangunan ini dipakai oleh raja dan para bawahannya melakukan pertemuan. Belanda kemudian menduga gedung itu sebagai pusat rencana gerakan perlawanan. Belanda menganggap Sumenep, kala itu, tidak tepat memiliki kantor raja karena statusnya hanya Kadipaten. Namun raja Sumenep tidak kalah akal, beliau menolak sebutan kantor raja. Sang Adipati berkelit, bahwa itu adalah Kantor Koneng (koneng dalam bahasa Madura berarti Kuning), karena seluruh temboknya diwarnai kuning. Museum yang satu lagi di sebelah Utara kantor koneng ini, bangunan berbentuk rumah tinggal. Konon rumah ini dipakai raja untuk menyepi, karenanya rumah itu disebut dengan Romah Panyepen. Tepat di depan sisi kiri museum selatan terdapat bangunan kecil, semacam pos penjaga. Orang-orang dulu menyebutnya Loji. Memang benar, bangunan kecil ini merupakan pos penjaga keraton, karena itu dilengkapi dengan lonceng. Loji juga ada di sebelah Timur keraton, tak jauh dari pintu masuk ke Taman Sare. Dulu, bila raja kedatangan tamu, penjaga di loji depan akan memberi isyarat dengan membunyikan lonceng. Bila pihak kerajaan sudah siap menerima, maka penjaga di loji dalam akan ganti membunyikan lonceng dengan isyarat tertentu. Di sebelah Timur lingkungan keraton terdapat kolam pemandian yang dikenal dengan nama Taman Sare. Nama Taman Sare berasal dari kata dalam bahasa Madura, taman dalam Bahasa Indonesia berarti kolam, dan sare/asreh yang berarti asri, indah atau menyenangkan. Menurut cerita beberapa orang, air di Taman Sare ini juga mempunyai khasiat menjadikan orang awet muda.



LABANG MESEM

Labang Mesem merupakan sebutan untuk gerbang keraton yang letaknya tidak jauh dari Taman Sare. Dalam Bahasa Indonesia, Labang berarti pintu, dan Mesem berarti senyum. Dari sekian versi tentang asal usul nama Labang Mesem, akhirnya disimpulkan, bahwa nama Labang Mesem merupakan symbol. Perlambang atas sikap keramah-tamahan dan penuh senyum dari para raja dan seluruh orang keraton dalam menerima tamu. Setidaknya ada tiga versi yang melatari pemberian nama Labang Mesem. Pertama, pada jaman dahulu pintu gerbang menuju keraton itu dijaga oleh dua orang cebol. Hal ini bisa dilihat dari dua ruangan dengan pintu rendah di kanan dan kiri gerbang itu. Menguatkan bukti itu, di makam Asta Tinggi terdapat kuburan-kuburan cebol. Karena yang menjaga orang dengan bentuk kecil, maka tak heran bila sering menghadirkan senyum orang-orang yang melintas di gerbang tersebut. Versi kedua menyebutkan, ruang terbuka yang berada di atas pintu gerbang tersebut merupakan tempat raja untuk mengawasi sekitar keraton. Juga mengawasi putri-putri dan para istrinya yang sedang mandi di Taman Sare. Konon ketika sedang memperhatikan putri dan atau istrinya yang sedang mandi itu, raja tampak mesam-mesem. Sebab itulah kemudian gerbang itu disebut Labang Mesem. Sedang versi yang lain, menyebutkan suatu ketika Keraton Sumenep berhasil memukul mundur pasukan dari kerajaan Bali. Menyisakan dendam, Raja Bali bermaksud menuntut balas. Maka mereka pun datang ke Sumenep beserta bala tentaranya. Namun siapa sangka, ketika mereka sudah sampai di depan gerbang keraton amarah yang diselimuti dendam berubah. Menjadi senyum ramah dan penuh persahabatan. Kabarnya, hal itu merupakan akibat terkabulnya doa raja kepada Tuhan yang Maha Esa. Merubah api dendam menjadi air persaudaraan. Masih banyak kekayaan sejarah yang bisa dinikmati di keraton ini. Tak cukup tulisan dan foto untuk mengungkap semuanya. Cara paling tepat untuk memuaskan penasaran hati, hanya dengan datang dan menikmati setiap keping mozaik warisan sejarah negeri ini dengan mata kepala sendiri.

ShoutBox

Search